MENGANALISIS DUA FAKTA SEJARAH
1.
PARTAI ISLAM TIDAK
BISA BERSATU
Partai Politik Islam sangat sulit untuk dipersatukan, karena Partai
Politik Islam terlalu keras memperjuangkan egonya masing-masing, sulit
menyatukan visi, misi dari masing-masing partai, serta adanya perpecahan yang
terjadi di dalam partai tersebut dan juga ideologi politik yang dipahami dan
dijalankan oleh partai Islam di Indonesia makin memudar disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan politik yang menyangkut segala urusan dan tindakan mengenai
pemerintahan negara yang bukan diacukan pada asas Islam yang mendasari kumpulan
konsep bersistem yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan partai
Islam tersebut, melainkan diacukan pada asas pancasila yang merupakan juga
dasar ideologi negara, ini sama halnya dengan ideologi partai-partai non Islam
atau ideolopgi partai-partai yang berbasis bukan pada massa Islam.
Jika kembali ke
sejarah, basis politik aliran Islam di Indonesia sejak era 1950-an terbelah
menjadi Islam reformis/modernis lalu berubah menjadi Partai Masyumi, sedangkan
Partai Islam tradisionalis terpusat pada Nahdlatul Ulama (NU).
Lahirnya PAN, adalah
investasi politik dari organisasi Muhammadiyah. Begitu pula dengan partai PKB yang
merupakan investasi di bidang politik organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Sementara
PPP sendiri mencoba menyatukan para ulama dengan kembali ke rumah Ka’bah.
Pada masa awal
reformasi, parpol Islam terutama PKB dan PAN merengkuh suara yang sangat menjanjikan,
karena dukungan penuh dari organisasi keagamaan. PAN dengan Muhammadiyah
menjadi partai yang mampu mewarnai perpolitikan Indonesia di masa reformasi.
Sosok Amien Rais turut serta menyumbang besar kebesaran PAN. Kemudian PKB juga
meraih sukses besar atas dukungan basis Nahdlotul Ulama (NU) dengan sosok
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokohnya. PPP juga masih kokoh dengan basis
dukungan loyalis yang terpusat pada tokoh-tokoh dan kyai-kyai di daerah.
Namun, perlahan
ketiga parpol Islam yaitu PAN, PKB, dan PPP yang memiliki basis dukungan yang
besar mengalami penurunan dukungannya.Dukungan terhadap ketiga parpol Islam
tersebut tergerus oleh peran partai nasionalis seperti Partai Golkar, Partai
Demokrat, PDI-P, NasDem, Partai Hanura, dan Partai Gerindra.
a)
Partai Amanat Nasional (PAN)
PAN adalah partai
Islam yang muncul di masa reformasi dibidangi oleh kader-kader Muhammadiyah,
dan Muhammadiyah kemudian mewakafkan tokohnya yaitu Amien Rais untuk mengelola
dan membesarkan PAN. Namun tahun demi tahun elektabilitas PAN layu, dimulai
sejak Amien Rais tidak lagi menduduki jabatan ketua Umum.
Perpecahan internal
PAN sumber awal dari penyebab PAN saat ini yang berjalan tertatih-tatih dalam
panggung politik. Telah terjadi perbedaan paham kebangsaan di internal
PAN dan tidak bisa dikondisikan oleh pengurus hingga sekarang, tidak adanya
titik temu antara petinggi Muhammadiyah dengan pengurus PAN. Dampaknya,
kader-kader PAN berpindah haluan ke parpol lain, baik kader nasionalis yang
progresif maupun reformis modernis.
b)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Menurunnya
elektabiltas PKB juga dimulai dari perpecahan internal, sejak tidak di bawah
kendali Gus Dur PKB terombang-ambing kadernya tercerai berai. Gus Dur
yang dengan paham pluralisme mampu mendongkrak suara PKB pada awal berdirinya
PKB.
Selian itu, Gus Dur
bersama PKB juga mendapatkan restu dari NU dan dukungan penuh dari kaum
nahdliyin dengan jargonnya partai reformis, pro pada perubahan dan memperjuangkan
kesejahteraan rakyat.
Berbeda dengan PKB sekarang
yang cenderung eksklusif dengan hanya mengandalkan kader-kader NU dengan
menutup diri dari kalangan semacam nasionalis dan Muhammadiyah atau lainnya. Ditambah
lagi sistem keorganisasiannya yang keropos serta perseteruan dengan loyalis Gus
Dur yang tidak kunjung membaik. PKB juga tidak mampu memelihara dan membina
para kyai-kyai NU yang selama ini membesarkan PKB bahkan cenderung tidak peduli
karena dinilai loyalis Gus Dur.
Dampaknya PKB menjadi
parpol yang kehilangan arah dan berada dalam kebingungannya, langkah-langkah
instan menjadi pilihan dengan merekrut tokoh nasional, artis, dan pebisnis
untuk dijadikan alat dagangan politiknya.
c)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
PPP sebagai partai
religius mengalami elektabilitas yang terus menurun karena buruknya sistem
kaderisasi dan keorganisasin yang dibangunnya. PPP dahulu menjadi besar karena
bersatunya kaum religius dari lintas organisasi keagamaan.
Basis dukungan PPP
terpecah sejak masa reformasi dengan lahirnya PKB, dan PAN, PPP kehilangan para
tokoh-tokohnya sehingga elektabilitasnya hanya mengandalkan pada loyalis PPP
pada masyarakat tingkat bawah.
PPP didukung oleh
para loyalisnya yang sangat fanatis, selain itu juga beberapa kyai juga
memberikan andil besar menjaga suara PPP. Sayangnya, sistem kaderisasi
dan keorganisasin PPP tidak berjalan dengan baik, sehingga banyak kader-kader PPP
menyeberang ke parpol lain.
PPP tidak mampu
mengurus dan mengelola dengan baik terhadap tokoh-tokoh tua yang selama ini
membesarkan PPP. Kaderisasi dan keorganisasin yang baik yang mampu
menyatukan kembali para kyai-kyai dan loyalis untuk bersama-sama bersatu
membesarkan PPP.
PPP sudah sepantasnya
menjadi rumah kaum religius yang menyatukan berbagai paham aliran yang ada di
Indonesia. Sebagaimana PPP di masa Orde Baru yang menjadi rumahnya para kaum
religius muslim lintas organisasi keagamaan.
Dari paparan diatas
terlihat Islam adalah agama, sulit untuk memasukkannya dengan kekuatan politik
yang bergabung dengan Islam.
2. MINANGKABAU
PADA MASA DAHULU PERNAH MELAHIRKAN TOKOH-TOKOH NASIONAL
Orang
Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka
menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi
dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis,
dan pedagang. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari
10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang. 3 dari 4
orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau. Kisah 3
pendiri tersebut juga diulas dalam beberapa buku, seperti Hatta,
“Jejak yang Melampaui Zaman”, ia sang proklamator kemerdekaan bersama Soekarno,
Sjahrir, “Peran Besar Bung Kecil”, ia perdana menteri pertama dan Tan Malaka “Bapak
Republik yang Dilupakan”, pendiri Partai MURBA, orang yang pertama merumus
konsep NKRI. Berikut uraian jelasnya.
Setelah
kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad
Natsir merupakan Perdana Menteri ke-5
RI berasal dari Alahan panjang 1908, Agus Salim (Agam,
1884), mantan Menteri Luar Negeri RI),
seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta),
seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), Moh. Yamin (Sawahlunto, 1903), perumus
teks Sumpah Pemuda dan Pancasila
dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, Rizal Ramli dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang
duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet
pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi
liberal parlemen Indonesia didominasi
oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi,
islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Beberapa
partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli,
dan Permi oleh Rasuna Said dari Maninjau, 1910, yang merupakan
pejuang persesamaan laki-laki dan perempuan.
Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan
buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan.
Penulis
Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa
melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian, seperti Marah Rusli, “Sitti Nurbaya”, (Padang,
1889, sastrawan Angkatan balai Pustaka), Abdul Muis, Idrus, Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, (Maninjau
1908, Ketua Umum MUI), dan A.A Navis “Robohnya Surau Kami”, (Padang
1924 berkarya melalui penulisan novel). Nur Sutan Iskandar
novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling
produktif. Chairil Anwar
dan Taufik Ismail
berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana
dan Sutan Muhammad Zain,
dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa
menjadi bahasa persatuan nasional
Selain
melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh
jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin
Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi
wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Faktor
yang menyebabkan orang-orang minangkabau melahirkan tokoh-tokoh nasional,
karena keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di
perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung
Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina.
Faktor lain,
karena dalam sistem “matrilinial”, ada disebut “Harta Pusaka Tinggi”, harta
milik keluarga yang diperoleh turun temurun melalui garis ibu. Harta ini tidak
boleh dijualbelikan, sangat terkecuali karena ada empat hal. Satu diantaranya
“mambangkik batang tarandam” (membongkar kayu yang terendam). Maksudnya, hanya
bisa jika biaya pesta tak ada untuk pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya
sekolah anggota kaum ke tingkat lebih tinggi.
Hal lain lagi,
karena daerah Minangkabau memiliki banyak “nagari” — daerah otonom yang
memiliki kekuasaan tertinggi — dipimpin sebuah dewan disebut “Karapatan Adat
Nagari”. Faktor inilah pendorong dinamika masyarakat Minang untuk berkompetisi
secara konstan untuk mendapatkan status dan prestise. Setiap kepala “nagari”
berlomba meningkatkan status dan prestise keluarga kaumnya. Mendapatkan harta
dan sekolah setinggi-tingginya.